Posted by : Bank Makalah Jumat, 04 Juli 2014



PEMIKIRAN JABARIYAH dan QADARIYAH


Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ilmu Kalam”
Oleh:

EDI WIBOWO                      1311050205
DEWI NOVITASARI                       1311050197
YUNITA SETIAWATI         1311050214
MUHAMMAD YASIN        1311050218
Dosen Pembimbing:
ASEP KHOLIS NURJAMIL, SH.i

images.jpg









FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
BANDAR LAMPUNG
2013


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan aktifitas kita dalam keadaan sehat walafiyat.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita yang telah merubah tatanan sosial dari alam yang penuh dengan ketergersangan ilmu menuju alam yang penuh cahaya ilmu yakni agama islam.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada  Bapak Asep Kholis Nurjamil, SH.i selaku pengajar mata kuliah “Ilmu Kalam” yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah yang kami buat. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah rela menyumbangkan sebagian tenaganya untuk ikut andil dalam menyelesaikan makalah yang kami buat, sehingga makalah yang kami buat dapat terselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kesempurnaan serta banyak sekali kesalahan. Untuk itu diperlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terorganisirnya makalah untuk edisi selanjutnya.
Semoga makalah yang kami buat dapat menambah pengetahuan, sekaligus bertanbahnya keberkahan ilmu demi tegaknya pilar-pilar agama islam.


Bandar lampung, 27 September 2013

Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
                                                            HAL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1.      JABARIAH
1.1.   ASAL USUL ALIRAN JABARIAH ………………………………..
1.2.   TOKOH-TOKOH JABARIAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA.. 
2.      QADARIAH
2.1.   ASAL USUL ALIRAN QADARIAH ………………………………
2.2.   TOKOH-TOKOH QADARIAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA..
3.      ALIRAN MURJI’AH
3.1.   SEJARAH TIMBULNYA ………………………………………… 
3.2.   ASAL USUL NAMA MURJI’AH………………………………....  
3.3.   SEKTE-SEKTE ALIRAN MURJI’AH ……………………………  
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN ………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA






PENDAHULUAN

Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian mem-bawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi merekayang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan per-buatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya?
Oleh karena kebanyakan sikap bangsa Arab yang merasa lemah dan tak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir,serta berpegang teguhnya terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap dapat mendukung pendapatnya,maka aliran Jabariyah yang diprakarsai oleh al-Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dia tidak mempunyai kesanggupan dan hanya terpaksa dalam semua perbuatannya.Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia-baik yang terpuji maupun yang tercela-pada hakikatnya bukan pekerjaan manusia sendiri,melainkan hanyalah ciptaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demikian maka manusia itu tiadalah mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu orang-orang mukmin tidak akan menjadi kafir, lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab dia melakukannya karena semata-mata terpaksa.
Sementara masyarakat sedang memperbincangkan paham/aliran Jabariyah, muncul pulalah paham/aliran yang lain, yang justru bertentangan dengan aliran tersebut. Paham/aliran baru tersebut adalah aliran Qadariyah.
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah ma-salah perbuatan manusia (af'al ai-'ibad). Dalam kajian ini dibicarakan ten-tang kehendak (masyi'ah) dan daya (istitha'ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya, apa-kah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qadha dan qadhar Tuhan? Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut Ahmad Amin, persoalan ini timbul karena manusia-dari satu segi-melihat dirinya bebas berkehendak, melakukan apa saja yang ia suka, dan ia bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Namun, dari segi lain, manusia melihat pula bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, llmuTuhan meliputi segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi. Tuhan juga mengetahui kebaikan dan keburukan yang akan terjadi pada diri manusia. Hal demikian menimbulkan asumsi bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka muncullah persoalan jabar dan ikhtiyar, yakni apakah manusia itu terpaksa atau bebas memilih?
Persoalan apakah manusia terpaksa atau bebas memilih merupakan masalah klasik yang banyak menyita perhatian para pemikir. Jauh sebelum datang Islam, para filosof Yunani telah membicarakannya. Demikian pula pemikir-pemikirSuryaniyang mempelajarifilsafat Yunani. Bahkan pengikut-pengikut Zoroaster dan kaum Kristiani pernah pula membahas persoalan yang serupa. Di kalangan umat Islam, pembicaraan mengenai masalah ini terjadi setelah selesai masa penaklukan.
Tulisan ini secara umum akan membicarakan paham Qodariyah dan Jabariyah. Di sini akan dijelaskan pengertian Qodariyah dan Jabariyah, sejarah timbulnya, Prinsip ajaran masing-masing dan tokoh-tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      JABARIYAH

1.1  Asal Usul Aliran Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam al-munjid dijelaskan bahwa jabara berarti memaksa. Sedangkan Al-Syahrastani mengartikan paham jabar dalam arti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhya, yakni segala sesuatu disandarkan kepada Allah semata. Dalam bahasa inggris jabarariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha’dan qadar Tuhan.
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah)
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:
Artinya: Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).
Artinya: Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya, mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
1.2  Tokoh- tokoh Jabariyah dan Doktrin-doktrinnya

·         Al-Syahrastani dalam karangannya Al-Milal Wan Nihal mengemukakan bahwa ada dua kelompok utama jabariyah, yaitu:
Jabariyah Murni yang menganggap manusia tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk berbuat.Jabariyah Moderat yang mengakui bahwa manusia memiliki kekuasaaan, tetapi tetap mempertahankan bahwa ini merupakan kekuasaan yang tidak efektif.
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah:
·         Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya ialah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Beliau lahir di khurasan, dan bertempat tinggal di kufah. Ia menjabat sebagai sekertaris Haris bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan bani Umayyah di khurasan, ia lincah dan cerdik. Oleh karena itu ia dibunuh secara politisi, tidak ada kaitannya dengan agama. Diantara doktri-doktrinnya ialah:
Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mmempunyai kuasa, tidak mempunyai pilihan dan tiak mempunyai daya.
Surga neraka tidak kekel. Tidak ada yang kekal selain Allah.
Iman ialah ma’rifat dan membenarkan dalam hati. Pendapatnya sejalan dengan pendapat kaum Murji’ah.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak sama dengan apapun, maka dari itu Allah tidak dapat dilihat.
·         Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim yan tinggal di damaskus. Ia disbesarkan ditengah orang kristen yang gemar membicarakan teologi. Awalnya ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan bani Umayyah, namun setelah pikirannya yang kontroversional ditolak, ia kemudian lari ke kufah dan bertemu Jahm, lalu mereka mengembangkan pemikirannya dan disebarluaskan.Doktrin Ja’d tak  jauh berbeda dari doktrin Jahm, yaitu sebagai berikut:
Alqur’an itu adalah makhluk. Olehkarena itu ia baru, tidak qadim.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.

Berbeda dari paham jabariyah ekstrim, paham jabariyah moderat berpendapat bahwa manusia mempunyai bagian di dalam perbuatannya, baik atau buruknya. Memang tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, akan tetapi manusia mempunyai usaha yang disebut kasb. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat ialah:
·         An-Najjar
Nama lengkapnya ialah Husain bin Muhammad. Para pengikutnya disebut An-najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya ialah:
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, akan tetapi manusia memiliki bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan.
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.

·         Adh-Dhirar
Nama lengkapnya ialah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tetang manusia tak jauh berbeda dengan an-najjar, yakni manusia bukanlah wayang yang digerakkan dalang,  akan tetapi manusia memiliki kasab atau usaha dalam melakukan perbuatannya. Mengenai masalah ru’yat Tuhan di akhirat ia juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melelui indera ke enam. Ia juga berpendapat  bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

2.      QADARIYAH

2.1  Asal Usul Aliran Qadariyah
Menurut bahasa qadara berarti kemampuan atau kekuatan. Sedangkan menurut pengertian terminologi qadariyah berarti suatu aliran yang percaya bahwa manusia tidak diintervasi oleh Tuhan. Artinya manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri. Manusia adalah pencipta bagi semua perbuatannya. Qadriyah dalam istilah inggris dapat disebut free will atau free act.
Sebagaimana tidak jelasnya kapan paham Jabariyah itu mulai dibicarakan dalam teologi Islam, paham Qadariyah pun mengalami hal seperti itu. Muhammad ibn Syu'aib yang memperoleh informasi dari al-Auza'i mengatakan, bahwa mula pertama orang yang memperkenalkan paham Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah "SUSAN". Dia penduduk Irak, beragama Nasrani yang masuk Islam kemudian berbalik Nasrani lagi. Dari orang inilah untuk pertama kalinya Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham tersebut.
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dikatakan, bawah lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya.
Menurut al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya (baik), tetapi dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan. Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali dia memasuki lapangan politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah dengan cara memihak kepada Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peris-tiwa yang tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajjaj dia terbunuh. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H. Sebagian orang men gatakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yang mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh kezindikan-nya (paham Qadariyahnya).
Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya. Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah al-Adil Umar ibn Abd al-Aziz, Setelah khalifah mangkat dia meneruskan penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum bunuh oleh Khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik ibn Marwan.Sebelum dilaksanakan hukum bunuh, sempat diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza'i yang dihadiri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.
Motif timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebab-kan oleh 2 faktor. Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Paham Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan. Selain penganut paham Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abu Hurairah, ibn Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau kepada generasi penerusnya, agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka sakit. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis/ atsar yang diterimanya, bahwa kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam art! golongan yang tersesat.
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi existensi ajarannya masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum Mu'tazilah.

2.2  Doktrin-doktrin Qadariyah

·         Ghailan al-Dimasyqi
Berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
·         AI-Nazam
Adalah salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia mem-punyai istitha'ah (day a), maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapat-kan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga ada yang menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariyah.


·         AI-Jubba'i
mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan per buatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar,
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas, Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut:
Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi.
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudassir:38)
Artinya: Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.(Q.S AL-MUZAMMIL:19)
Artinya: Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.(Q.S an-Nisa:111)
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah membakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.

3.      Aliran Murji’ah
3.1  Sejarah Timbulnya
Aliran ini timbul pada akhir abad pertama hijrah di Damaskus. Kaum Murji’ah pada mulanya ditimbulkan oleh persoalan politik (khalifah) yang membawa perpecahan didalam umat islamsetelah usman bin Affan mati terbunuh. Persoalan ini menyebabkan terjadinya peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah yang terkenal dengan perang Siffin. Kaum khawarij yang pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya setelah tahkim. Penyokong-penyokong Ali yang tetap setia bertambah membelinya yang akhirnya mereka merupakan satu golongan yang dikenal dengan Syi’ah. Syi’ah dan Khawarij walaupun mereka dua golongan yan bertentang, tetapi mereka sama-sama menentang kekuasaan Muawiyah. “Kalau khawarij menentang dinasti ini karena memandang mereka menyeleweng dari ajaran islam, syi’ah menentang karena memandang mereka merampas kekuasaan dari Ali dan keturunannya.
Pertentangan yang bermotifkan politik ini merembes ke persoalan aqidah, persolan dosa, kafir atau tetap mukmin. Khawarij menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam tahkim berdosa besar dihukum kafir. Syi’ah menganggap Muawiyah menyeleweng (berdosa) karena merampas kekuasaan Ali. Bahkan sebagian mereka juga mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Usman (Syi’ah ekstrim).
Dalam suasana pertentanga inilah yang  munculnya Murji’ah sebagai golongan netral (penengah) yang tidak mau turut dalam soal kafir mengkafirkan. Bagi mereka sahabat-sahabat yangn bertentangan itu memrupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari ajaran yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat  tentang siapa yang salah dan benar dan memandang lebih baik menunda  penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan didepan Tuhan.

Akhirnya Murji’ah sebagai golongan politik yang netral beralih kepersoalan aqidah. Masalah dosa yang memperdebatkan khawari juga menjadi bahan pembahasan mereka. Kalau khawarij menghukum kafir, Murji’ah menghukum mukmin.

3.2  Asal Usul Nama Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata arja’a. Ada berbagai pendapat tentang asal usul nama Murji’ah sesuai dengan perbedaan pengertian tentang kata arja’a:
  1. Arja’a berarti menunda. Dosa besar yang dilakukan ditunda penyelesainnya kehari perhitungan kelak.
  2. Arja’a berarti membuat sesuatu mengambil tempat dibelakang (mengemudiankan) maksudnya meletakkan amal dibelakang iman dengan pengertian iman lebih penting dari amal.
  3. Arja’a berarti memberi pengharapan. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin dan tidak kekal didalam neraka berarti memberi harapan kepada yang berbuat dosa untuk memperoleh rahmat Allah.

3.3  Sekte-Sekte Murji’ah
Aliran Murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan Moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum dineraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Tokoh yang termasuk dalam Murji’ah Moderat ini yaitu Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abu Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist. Abu Hanifah memberi defenisi tentang iman sebagai berikut:” Iman adalah pengetahuandan pengakuan tentang Tuhan tentang rasun-Nya dan tentang apa  yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam  perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman. Berkenaan dengan memasukan Abu hanifah kedalam Murji’ah ini terdapat perbedaan pendapat Syahrastani mengatakan tidak mungkin Abu Hanifah menganjuurkan meninggalkan amal. Sedangkan Ahmad Amin menyatakan memasukan Abu Hanifah kedalam Murji’ah moderat tidak ada salahnya. Sedangkan Abu Zahrahmengatakan janganlah memasukkan  imam-imam kedalam Murjji’ah.
Golongan ekstrim adalah pengikut-pengikut Jaham bin Sofwan (Al-Jahamiyah). Golongan ini berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir , karena iman dan kufur tempatnya adalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dar tubuh manusia.
Yang termasuk Murji’ah ekstrim adalah:
  • Al-Salihah (pengikut Abu Hasan Al Salih). Iman adalah mengetahui Tuhan da Kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam artian mereka shalat,puasa bukanlah ibadat, karena dimaksud adalah iman kepadaNya mengetahui Tuhan.
  • Al Yunusiah mengambil kesimpulan bahwa melakiukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah merusak iman.
  • Al Ubaidiyah ,” jika seseoran gmati dalam iman, dosa-dosa da perbuatan-perbuatan jahat yang adilakukannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
  • Maqatil bin Sulaiaman,: perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak akan merusak iman seseorang dan sebaliknya  perbuata baik tida akan merubah kedudukan seorang musrik.
  • Al Kassaniah menyatakan bahwa” saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing, orang demikian tetap mukmin bukan kafir.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan, bahwa al-Qadariyah adalah salah satu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siksa. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuatan-per-buatannya, Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunatullah), dan tak dapat disangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan,
Paham Qadariyah ini mulai pertama dicetuskan oleh Ma'bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Paham ini digelarkan sebagai sanggahan ter-hadap paham Jabariyah yang dibina oleh Ja'ad ibh Dirham dan Jahm ibn Shafwan.
Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. Dalam perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berinte-grasi dengan paham Asy'ariyah.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke2
2.      Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
3.      Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Total Tayangan Halaman

Popular Post

- Copyright © Dunia Makalah -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -